Potensi Pelanggaran dalam Peliputan di Bursa Efek Indonesia

Tema-Tema Peliputan di Bursa Efek Indonesia (Berdasarkan riset ketertarikan wartawan yang meliput di BEI)

Tema-Tema Menarik dalam Peliputan di Bursa Efek Indonesia (Berdasarkan riset ketertarikan wartawan saat meliput di BEI)

Risalah Penelitian

Perkembangan ekonomi di Indonesia saat ini bisa dikatakan cukup baik. Hal ini seperti yang terlihat dari angka ekonomi makro Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat ekonomi kita memiliki perkembangan yang positif.   Hal lain yang layak dicermati adalah keberadaan pasar modal yang bergerak di sektor makro ekonomi di Indonesia. Pasar modal (stock market) merupakan bagian dari kapitalisasi ekonomi Indonesia. Pasar modal memiliki peran sangat signifikan dalam meningkatkan kinerja perusahaan-perusahaan bersekala nasional dan internasional, serta turut andil menjaga stabilitas ekonomi makro Indonesia.

Di dalamnya terdapat peran dari wartawan yang bergelut dalam peliputan ekonomi dan bisnis. Mereka sering disebut wartawan ekonomi dan bisnis atau wartawan keuangan (financial journalist). Mereka menggeluti wilayah jurnalisme bisnis (business journalism)Encyclopedia Journalism menjelaskan definisi jurnalisme bisnis, yaitu “Business journalism refers to reporting and writing about businesses and the economy. In addition, it commonly includes other beats such as labor, workplace, technology, personal finance, investment, and consumer reporting, as well as investigative reporting focusing on these topics.”[1]

Hubungan media massa dan pasar bursa sendiri memang telah berjalan cukup lama. Sejarah kantor berita internasional misalnya, awalnya, digunakan untuk menyebarluaskan harga-harga saham di bursa efek kepada para investor yang berada di penjuru negara yang berbeda. Kantor berita tertua di dunia, Reuters, awalnya pun didirikan untuk memenuhi kebutuhan oleh investor Eropa yakni mengenai harga-harga saham dari Bursa London.[3]

Di Indonesia, kita menggenal peran jurnalisme-ekonomi-saham- dan investigasi yang mendalam dalam buku Bre-X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi karya Bondan Winarno. Buku yang dianggap sebagai hasil jurnalisme investigasi pertama di Indonesia tersebut juga menceritakan bagaimana harga saham perusahaan tambang emas Bre-X di Kanada yang naik menjadi berlipat-lipat, karena adanya informasi bahwa mereka telah menemukan tambang emas bernilai jutaan dolar di Kalimantan. Padahal informasi tersebut adalah rekayasa David Walsh dan Mike de Guzman, CEO dan pemilik Bre-X sendiri.[4]

Peta Potensi Pelanggaran Wartawan dalam Peliputan di Bursa Efek

Wartawan yang meliput di dunia finansial, khususnya dalam konteks peliputan bursa efek memiliki beragam keuntungan. Dalam hal ini wartawan sering memperoleh hak istimewa atas informasi-informasi yang bahkan bersifat sensitif, melanggar hak orang lain dan tuduhan-tudahan tertentu. Hal ini mengancam profesionalisme kerja wartawan, seperti yang kita ketahui, dalam dunia bursa informasi merupakan hal yang dapat memengaruhi sentiment pasar sehingga dapat memengaruhi stabilitas harga saham.

“… financial journalists like all journalists do enjoy some privileges, such as access to sources, protection of sources and certain rights to immunities in relation to defamation and privacy law if what they are doing is deemed to be ‘in the public interest’. They also enjoy other informal privileges such as access to sources and resources. As we shall see in the following sections these privileges are under threat. Access to sources is undermined through the strategies of PR companies. Protection of sources is under review and defamation risk is a constant challenge for financial and business journalists. And perhaps the more daunting task in the context of new entrants and new platforms is to determine who is a financial journalist….”[1]

Tambini menyimpulkan bahwa wartawan keuangan seperti halnya wartawan lain pun menikmati beberapa keuntungan, seperti akses terhadap sumber, perlindungan sumber dan hak-hak imunitas tertentu yang berhubungan dengan aturan tuduhan dan pelanggaran privasi-jika yang mereka lakukan dianggap bagian dari ‘kepentingan publik’.

Mereka juga menikmati keuntungan informal lainnya seperti akses kepada sumber dan sumber daya. Seperti yang kita lihat pada bagian sebelumnya bahwa keuntungan tersebut juga menuai kecaman. Akses kepada narasumber mengancam melalui strategi Public Relation perusahaan. Perlindungan terhadap sumber daya sedang dikaji dan pemfitnahan merupakan tantangan yang sering dihadapi wartawan bisnis dan keuangan. Dan mungkin lebih banyak tugas yang menakutkan dalam konteks bagi pendatang baru dan platform baru untuk menentukan siapakah sejatinya seorang jurnalisme keuangan itu.

Secara garis besar, keuntungan yang didapat wartawan bisa menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang. Apalagi jika wartawan ternyata turut melakukan transaksi di pasar bursa yang dianggap menjadi penyebab dari pelanggaran atau penyimpangan atau pelanggaran pasar (market abuse). Tambini menjabarkan pelanggaran pasar ini dalam berbagai bentuk, yakni:

1. Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading)

Dalam dunia saham terdapat apa yang disebut dengan insider trading, atau perdagangan orang dalam. Mereka adalah informan dalam yang membocorkan rahasia-rahasia perusahaan kepada investor agar mengetahui langkah-langkah apa yang dapat investor lakukan demi memperoleh keuntungan atau meghindari kerugian. Praktik ini disinyalir rentan dilakukan oleh wartawan bisnis di berbagai penjuru dunia.

Wartawan keuangan sering memiliki akses informasi ekslusif tentang saham dan investasi, dan berita tentang investasi ini dapat menyebabkan fluktuasi harga saham tertentu–naik atau pun turun–membuka kesempatan bagi para wartawan untuk mendapatkan keuntungan dengan cepat.[2]

Kasus insider trading yang menimpa wartawan yang paling terkenal di dunia adalah kasus Carpenter lawan United States dengan terdakwa R. Foster Winan yang merupakan wartawan The Wall Street Journal. Winan sebelumnya adalah penulis kolom dengan analisis tajam mengenai perusahaan yang terdaftar di Bursa Wall Street. Namun, dia ketahuan telah membocorkan isi tulisannya kepada sekongkolannya untuk melakukan transaksi sekuritas sebelum tulisannya beredar. Winan kemudian dituntut atas dakwaan insider trading. Dalam kasus Winan, pengadilan menuntutnya karena menyalahgunakan (misappropriating) The Wall Street Journal untuk kepentingan pribadinya.[3]

Pada tahun 2005, mantan kolumnis CBS MarketWatch, Thom Calandra, didenda $540.000 lebih untuk melunasi tuntutan pengadilan karena ia telah menggunakan kolomnya pada tahun 2003 untuk mempromosikan saham kecilnya. Saat sahamnya meningkat sebagai hasil dari rekomendasi tulisannya, ia menjual saham tersebut untuk mendapat keuntungan. Pada salah satu transaksinya, Calandra menulis dalam bulletin bahwa sebuah perusahaan bernama Pacific Mineral akan meroket, kemudian menurut The New York Times, dalam beberapa hari ia sukses menjual ribuan saham.[4]

CBS Market Watch mengatakan bahwa aturan perusahaan mengharuskan komentator yang direkomendasikan berinvestasi, seperti Calandra, mengungkapkan saat mereka secara pribadi melakukan penjualan saham yang telah mereka bahas dalam kolom mereka. Pada tahun 2005, Calandra, salah satu pendiri CBS MarketWatch, mengundurkan diri sebagai seorang komentator dan bekerja sebagai konsultan penelitian untuk sebuah perusahaan investasi.[5]

2. Manipulasi Pasar (Market Manipulation)

Manipulasi pasar adalah suatu kejahatan di mana suatu pihak mengeluarkan informasi yang tidak benar dengan bertujuan menaikkan atau menurunkan harga saham suatu perusahaan. Wartawan rentan dengan kejahatan ini karena sifat media yang dapat memengaruhi harga-harga dengan rekomendasi dan saran-saran tertentu. Memanipulasi informasi di pasar dapat membuat pemodal berbondong-bondong membeli saham tertentu. Akibatnya banyak pemodal yang rugi setelah harga-harga saham berada dalam posisi normal.

Manipulasi pasar sering dilakukan para pelaku pasar untuk mengeruk keuntungan, di Indonesia kasus penipuan yang dilakuakan oleh Bre-X menjadi sebuah contoh. Bre-X merupakan perusahaan Kanada yang melakukan eksplorasi tambang emas di Kalimantan. Manipulasi pasar ini tidak terkait dengan wartawan atau media, justru wartawan dalam kasus Bre-X ini memiliki peran penting karena berhasil membongkar kedok kejahatan manipulasi pasar.

Adalah Bondan Winarno membuat sebuah laporan investigatif yang dibuat menjadi buku berjudul Bre-X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Buku yang dianggap sebagai hasil jurnalisme investigasi pertama di Indonesia tersebut menceritakan bagaimana harga saham perusahaan tambang emas Bre-X di Kanada yang naik menjadi berlipat-lipat karena adanya informasi bahwa mereka telah menemukan tambang emas bernilai jutaan dolar di Kalimantan. Padahal informasi tersebut adalah palsu atau rekayasa David Walsh dan Mike de Guzman, CEO dan pemilik Bre-X sendiri. Mereka mencampuri galian tambang mereka dengan emas palsu sehingga seolah-olah mereka telah menemukan tambang besar di Kalimantan. Manipulasi informasi tersebut membuat banyak orang berbondong-bondong membeli saham Bre-X.

Dalam bukunya Bondan melakukan investigasi hingga ke luar negeri untuk mencari tahu kejanggalan-kejanggalan yang ada. Kasus Bre-X ini mengakibatkan guncangan finansial di Kanada itu mengakibatkan ribuan guru kehilangan dana pensiun mereka karena diinvestasikan ke Bre-X. Mike de Guzman sendiri dilaporakan bunuh diri, padahal menurut Bondan dia sudah mencairkan saham-saham Bre-X yang dia jual. Temuan Bondan pun menyatakan bahwa bunuh diri Mike de Guzman adalah palsu dan kasus Bre-X merupakan salah satu kasus Market Manipulation terbesar di Indoensia.[6]

3. Konflik Kepentingan (Conflicts of Interest)

Konflik kepentingan adalah permasalahan yang dialami tidak hanya wartawan keuangan, melainkan juga terjadi pada wartawan-wartawan pada umumnya, di mana wartawan memiliki kepentingan terhadap berita yang mereka laporkan. Dalam hal pasar modal; kepentingan pembaca, pemodal, dan pasar dapat terbentur dengan kepentingan pribadi wartawan yang memiliki saham dari perusahaan yang mereka beli atau menerima fasilitas dari perusahaan-perusahaan yang mereka liput sehingga berakibat pada ketidakberimbangan informasi yang wartawan tulis.

Kasus yang menimpa sekelompok wartawan yang meliput di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010 lalu menjadi pelajaran yang belum selesai. Beberapa wartawan dari sejumlah media massa dituduh telah melakukan pemerasan dalam penawaran saham perdana PT. Krakatau Steel. Mereka menyanggah tuduhan tersebut karena mereka hanya membeli saham di Bursa Efek selayaknya masyarakat pada umumnya. Dewan Pers kemudian memutuskan bahwa wartawan-wartawan tersebut melakukan pelanggaran kode etik, karena memanfaatkan profesi wartawan untuk memperoleh hak istimewa untuk membeli saham PT. Krakatau Steel yang menimbulkan konflik kepentingan dan bahkan terindikasi terjadi pemerasan oleh wartawan.[7]

Kepemilikan saham oleh wartawan yang meliput di Bursa Efek menjadi permasalahan yang seringkali masih menjadi banyak pertanyaan. Membeli saham adalah hak asasi setiap warga negara yang dijamin. Namun, pembelian saham oleh wartawan merupakan tindakan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sehingga memengaruhi liputan yang mereka buat. Untuk mencegah konflik kepentingan satu-satunya adalah setiap wartawan dilarang memiliki saham perusahaan yang mereka liput.

Pelarangan transaksi saham oleh wartawan ini sulit dilakukan karena wartawan tentu saja dapat membeli saham lewat orang ketiga sehingga sulit untuk dilacak. Untuk menghindari konflik kepentingan ini wartawan diharuskan mengungkapkan saham mereka terhadap editor atau atasan mereka agar dapat diawasi.

4. Penyembunyian (Non Disclosure)

Wartawan yang memiliki saham harus diketahui oleh atasan mereka. Hal ini agar editor atau atasan mereka dapat mengawasi apakah terdapat konflik kepentingan terhadap liputan yang mereka buat. Wartawan yang memiliki saham di pasar bursa namun tidak mengungkapkan bahkan cinderung menyembunyikan kepemilikan mereka kepada media tempat mereka bekerja inilah yang disebut dengan Non Disclosure.

Salah satunya adalah kasus Neil Colins, seorang kolumnis keuangan di Reuters Breaking Views. Dia akhirnya dipecat karena menurut investigasi pernah menulis tentang 15 perusahaan yang ternyata dia miliki sahamnya. Padahal aturan di Reuters melarang wartawan menulis berita tentang saham yang dia miliki.[8]

Pemahaman Wartawan yang Meliput di BEI terhadap Market Abuse

Pemahaman Wartawan yang Meliput di BEI tentang Pelanggaran Pasar

Pemahaman Wartawan yang Meliput di BEI tentang Pelanggaran Pasar

Hasil analisis peneliti menunjukkan bahwa proporsi wartawan yang meliput di BEI sebagian besar belum memahami tentang potensi pelanggaran dalam liputan di BEI. Hanya sebanyak 44% wartawan yang dianggap memahami Insider Trading dan Market manipulation. Sebanyak 75% tidak memahami conflict interest dan 100% atau seluruh partisipan tidak memahami non disclosure.

Jika dicari penyebab yang bersumber dari data yang peneliti temukan antara lain karena dalam meliput di BEI sebanyak 81% Wartawan belum mengikuti standar uji kompetensi wartawan standar Dewan Pers; 69% belum pernah mengikuti pendidikan formal atau informal tentang kejurnalistikan; 69% persen wartawan tidak berorganisasi di luar media wartawan bekerja; dan 75% media di mana wartawan bekerja tidak memberikan aturan jelas tentang boleh atau tidak boleh bertransaksi saham.

Detail lengkap penelitian klik di sini.