Mari Benahi Televisi Kita

Suatu kali Presiden Jokowi mengeluhkan program siaran televisi dan memanggil beberapa ‘top leader’ stasiun televisi kita untuk diajak berdiskusi di Istana. Itu seharusnya menjadi momentum yang tak boleh dilewatkan untuk memperbaiki sistem siaran pertelevisian di Indonesia yang sudah didiagnosa sangat amburadul.

Lho, kok amburadul? Ya. Karena tiap hari, jutaan penduduk Indonesia melihat televisi nasional tidak nasionalis alias tidak mencerminkan Indonesia. Televisi mainstream hanya mencerminkan orang-orang egois Jakarta, gaya hidup Jakarta, segala sesuatu tentang Jakarta. Bahkan kemacetan di Jakarta pun setiap hari ditayangkan ke seluruh pelosok nusantara lewat televisi nasional.

Konten televisi mainstream di Indonesia juga sangat jauh dari prinsip keberagaman. Hampir semua sama model tayangannya. Bahkan dituding tidak mendidik seperti yang dikeluhkan Presiden Jokowi.

Padahal, kita sudah punya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang selayaknya dipahami penyedia dan penyebar konten. NaDSC00778 (2)mun, lagi-lagi peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ‘sangat tidak bisa diandalkan’ karena hampir-hampir tak punya daya selain menegur siaran yang menyimpang.

Lucunya, lagi-lagi yang disalahkan adalah rating Nielsen. Padahal ini bukan salah Nielsen sebagai tools yang menyajikan data survey masyarakat. Ini adalah salah pemerintah yang sejak lama mengabaikan dunia penyiaran.

Secara psikologis, Orde Reformasi memang lebih berhati-hati dalam segi pengaturan media. Tak dapat dipungkiri, semua ini terjadi lantaran masih traumanya kita pada keberkuasaan Orde Baru dalam mengontrol media massa.

Selama ini Pemerintah, baik DPR (Komisi I), Kemkominfo, dan KPI abai pada inisiatif untuk menjaga hakikat utama media yakni KEBERAGAMAN PEMILIK DAN KONTEN. Hasil riset Nielsen harusnya jadi acuan bahwa memang ada yang salah dengan televisi kita yang disebabkan oleh kepemilikian yang mengerucut (konglomerasi media) yang mengakibatkan keseragaman konten.

Ini disebabkan karena sistem siaran televisi kita masih terpusat. Pemodal emoh keluar duit untuk mendirikan televisi regional. Undang-undang televisi berjaringan dan kepemilikan pun terang-terangan didukung dan diarahkan pada sistem monopoli televisi kepada pemain besar atau yang sering disebut konglomerasi media.

Konglomerasi media merupakan dosa terbesar yang menciderai prinsip media massa. Sejatinya, media massa yang sehat yakni diversity of content and ownership alias keberagaman konten dan kepemilikan. Prinsip ini diabaikan pemerintah sejak zaman Suharto berkuasa. Semua tahu jika televisi adalah medium paling sempurna dari propaganda. Jadi, saat kepemilikan media semakin mengerucut maka keberagaman konten sudah bisa dipastikan makin minim.

Setidaknya, yang pasti dan harus segera dilakukan adalah memaksa televisi nasional segera melakukan siaran berjaringan dengan konten yang lebih proporsional. P3SPS Bab XXI Pasal 52 ayat 3 menerangkan bahwa porsi siaran lokal harus diupayakan mencapai 50% dari seluruh siaran. Namun, berjaringan saja susah apalagi diminta membuat tayangan yang proposional. Padahal sudah ada aturannya. Aneh kan?

Aneh karena selama ini negara dianggap tidak hadir mengatur bahkan pemerintah cenderung tidak dianggap. Ambil contoh program “Empat mata” yang dicabut izinnya tapi kemudian diganti dengan “Bukan Empat Mata” yang sama. Itu sebetulnya kasus penghinaan luar biasa pada eksistensi lembaga negara dan menciderai akal sehat. Sehingga salah satu upaya memperkuat KPI adalah memperkuat sisi hukum KPI. Setidaknya dengan memperluas cakupannya dari sekadar sapa tegur-menegur menjadi pencabutan izin siaran yang lebih bertaji.

Selain itu, adopsi teknologi kita benar-benar tertinggal jauh. Bayangkan, tingkat kemuduran kita yang disebabkan oleh konglomerasi media tadi ditambah dengan adopsi teknologi yang buruk. Maka jangan heran kita hanya punya konten yang dikelola tidak serius karena mengejar rating dan share.

Demi pendapatan melalui iklan yang seharinya bernilai milyaran rupiah ini televisi jarang punya program mendidik saat jam prime time (jam tayang sibuk) karena yang dikejar adalah mayoritas selera penontonnya.

Jangan salahkan stasiun televisi hanya berpusat di Jakarta. Lha, karena teknologi kita hanya mampu sampai segitu. Aturan sebaran siaran televisi benar-benar dilanggar. Medium berupa “frekuensi” yang kini menjadi jalur sebaran televisi adalah sumber daya alam yang terbatas (hanya 24 kanal) inilah yang membuat pemain besar selalu memenangkan ketersediaan kanal di wilayah lokal atau regional.

Sudah saatnya kita beralih pada teknologi digital dimana siaran televisi lebih dinamis dengan kanal yang melimpah pula. Namun, adopsi ini nampaknya hanya secepat siput. Lobi-lobi media televisi besar disinyalir sangat berkuasa menghambat adopsi ini. Lantas sampai kemana digitalisasi televisi kita? Revisi UU Penyiaran di meja DPR dari periode lalu masih juga belum jalan.

Jadi, jika Pak Jokowi mengeluhkan mutu siaran televisi kita rendah itu karena swasta yang memang tangguh. Untuk mengubahnya secara adil dan bijaksana tentu butuh waktu lama. Kita tidak akan bisa mengejar mutu siaran semaju (beragam) seperti Amerika Serikat, misalnya. Tapi pemerintah bisa meniru cara Inggris memajukan dunia pertelevisiannya bahkan hingga mencapai kelas yang diterima seluruh dunia.

Dulu saat publik Inggris dan Eropa dimonopoli oleh Murdoch lewat jaringan TV Digital BSkyB, Inggris memilih memajukan konten siaran TV BBC. Sekarang ada banyak kanal seperti BBC One, Two, Three, Cbeebies, News, World, dan Knowladge (akan ganti jadi BBC Earth).

Nah, Pak Jokowi seharusnya tidak perlu mengeluh dengan konten televisi swasta macam jaringan MNC, Trans dkk. Dari segi bisnis, mereka itu udah maju dan bermain cukup fair karena peraturan kita yang memang liberal sejak semula. Harusnya meniru Inggris dengan memperbaiki mutu siaran televise publik kita. Apa lagi kalau bukan televisi publik tercinta, TVRI.

Bicara TVRI, sebetulnya sudah punya kanal digital yang bisa dinikmati perangkat TV digital. Kanalnya pun beragam seperti TVRI Nasional, TVRI Budaya, TVRI Olahraga, dan beberapa TVRI digital daerah / regional yang pondasinya sudah bagus.

Di Inggris, masyarakat ditarik iuran yang beragam untuk berlangganan TV dengan fasilitasnya (TV, Telephone, Konsol game, DVR, dsb) sehingga ada partisipasi publik dalam penentuan konten dan tentunya publik menikmati tayangan bebas iklan komersial di saluran BBC. Model ini bisa ditiru, namun paling mudah adalah membiayai TVRI dari APBN.

Gabungkan TVRI dengan kementrian untuk produksi konten, seperti Kemendikbud untuk produksi konten budaya, Kemenpora untuk konten olahraga, Kemendiknas untuk konten pendidikan dan kementrian lainnya. Sehingga TVRI bisa fokus pada adopsi teknologi.

Selama ini TVRI dianggap tak menarik karena lemah dalam hal konten. Konten TVRI dianggap jadul dan terbelakang zaman. Sudah saatnya para ahli media berkumpul. Ada banyak orang yang saya kira punya wawasan luas dalam bidang televisi yang punya visi jelas dibandingkan orang-orang DPR yang lambat dalam membuat kebijakan.

Saya berharap ada lembaga khusus yang berisi praktisi yang tahu aspek teknologi, kreatif, hukum, dan idealisme penyiaran. Kumpulkan mereka untuk memperbaiki siaran televisi kita. Ada Yanuar Nugraha yang sudah bisa memetakan masalah dan solusi televisi di Indonesia lewat penelitian-penelitiannya, Dandhi Dwi Laksono yang paham konten dokumenter idealis, lembaga idealis macam Remotivi dan orang-orang yang harus didengarkan konsep mereka tentang televisi Indonesia harus bagaimana dan seperti apa.

Tak seperti pemerintahan lalu yang abai pada hal mendasar yang menjadi konsumsi harian masyarakat. Kini, pemerintah terlihat benar-benar berupaya mencari jalan untuk mengurai amburadulnya dunia pertelevisian negeri kita. Semoga tulisan ini bisa sedikit bisa mengurainya.

Original article